Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
APAKABARINDONESIA.COM – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 dilaksanakan pada 27 November 2024 di seluruh daerah di Indonesia, melibatkan 545 daerah yang terdiri dari 37 Provinsi, 415 Kabupaten dan 93 Kota.
Sejak jauh hari, banyak pihak meragukan Pilkada serentak 2024 ini dapat berjalan dengan baik. Banyak pihak mencium aroma tidak sedap dalam pelaksanaan Pilkada serentak ini.
Ternyata benar. Hasil Pemilihan Kepala Daerah 2024 ternyata sangat buruk. Dan yang terburuk sepanjang sejarah Pilkada.
Baca Juga:
KPK Bawa 3 Koper Dokumen, 1 Kardus dan 1 Tas Jinjing Usai Geledah Rumah Milik Pengusaha Djan Faridz
Momen Penuh Hormat Presiden Prabowo Subianto ke Emil Salim: Minta Maaf Saya Baru Datang Sekarang
Ucapkan Selamat kepada Donald Trump, Prabowo: Indonesia Berkomitmen Bekerja Sama Erat dengan AS
Diduga terjadi banyak pelanggaran dan perbuatan melawan hukum secara terstruktur, sistematis, dan massif. Alias brutal.
Hal ini tercermin dari jumlah sengketa atau Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah yang didaftarkan di Mahkamah Konstitusi.
Total sengketa Pilkada yang masuk di Mahkamah Konstitusi mencapai 310 daerah, atau 56,9 persen dari 545 daerah. Sengketa Pilkada Provinsi mencapai 21 dari 37 provinsi atau 56,7 persen.
Sengketa Pilkada Kabupaten mencapai 240 dari 415 Kabupaten atau 57,8 persen, dan sengketa Pilkada Kota mencapai 49 dari 93 Kota atau 52,7 persen.
Baca Juga:
Sebanyak 84,7 Persen Rakyat Kecil Puas dengan Pemerintahan Prabowo, Diungkap Litbang Kompas
Salah Satunya Ucapan Terima Kasih kepada Prabowo, Pesan Megawati Soekarnoputri ke Ahmad Muzani
Jumlah sengketa Pilkada yang sedemikian banyaknya menunjukkan pelaksanaan Pilkada 2024 sangat memprihatinkan dan memalukan, mencerminkan ada yang tidak beres dalam penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 ini.
Mayoritas atau hampir semua gugatan terkait kecurangan Pilkada yang bersifat TSM (terstruktur, sistematis, dan massif).
Kecurangan secara massif ini diduga melibatkan oknum pejabat-pejabat di daerah, seperti aparat desa serta aparat penegak hukum.
Hasil Pilkada serentak 2024 yang sangat buruk ini sudah dapat diduga. Sejak 2022, ketika masa jabatan kepala daerah selesai 5 tahun, Jokowi menunda Pemilihan Kepala Daerah sampai November 2024.
Baca Juga:
Desa Ujung Tombak Kemandirian Pangan, Bapanas: Ketahanan Pangan Berkelanjutan Lewat Lumbung Pangan
Diperiksa KPK Hampir 3,5 Jam Sebagai Tersangka, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto Tak Ditahan
Polisi Buru Pelaku Pelaku Penusukan Terhadap Arktor Sinetron ‘Mak Lampir’ Sandy Permana
Bersamaan dengan itu, Jokowi melalui kementerian terkait menunjuk Penjabat Kepala Daerah sebagai pengganti Kepala Daerah yang habis masa jabatannya.
Karena itu, Jokowi dapat menguasai seluruh Penjabat Kepala Daerah di Indonesia, dan dapat memerintahkan Kepala Daerah boneka tersebut untuk memenangi calon pasangan Kepala Daerah yang didukungnya.
Dengan segala cara, termasuk mobilisasi aparat desa dan institusi negara yang sekarang dikenal dengan “parcok”.
Yang menjadi permasalahan besar, penundaan Pemilihan Kepala Daerah yang telah habis masa jabatannya, dan mengangkat Penjabat Kepala Daerah sebagai pengganti Kepala Daerah.
Hal itu melanggar konstitusi, melanggar Undang-Undang Dasar Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”
Artinya, Kepala Daerah tidak boleh diangkat oleh Presiden atau Kementerian terkait, tetapi harus dipilih secara demokratis.
Sedangkan Pejabat atau Penjabat Kepala Daerah hanya berlaku dalam hal Kepala Daerah berhalangan dalam masa jabatannya.
Bukan untuk menggantikan Kepala Daerah yang habis masa jabatannya.
Semua rancang bangun dan rekayasa kecurangan Jokowi tersebut terbukti menghasilkan Pilkada serentak 2024 yang sangat buruk, dengan gugatan sengketa hasil Pilkada mencapai 56,9 persen.
Survei elektabilitas yang diagung-agungkan sangat akurat oleh lembaga survei juga menjadi korban. Bukan saja tidak akurat, tetapi menjadi terbalik-balik.
Sebagai contoh, tingkat elektabilitas pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, Airin Rachmi Diany dan Ade Sumardi, yang mencapai 77,3 persen beberapa hari menjelang pencoblosan ternyata kalah telak.
Dengan perolehan suara hanya 44,12 persen. Bagaimana mungkin hal seperti ini bisa terjadi, kalau tidak ada faktor X yang TSM?
Khusus kasus Banten memang sangat menyolok. Kasus PSN PIK2 mempertontonkan secara transparan keberpihakan aparat desa kepada pengusaha yang sangat dekat dengan Jokowi.
Aparat desa ini patut diduga menjadi mesin pemenangan calon pasangan Gubernur-Wakil Gubernur yang didukung Jokowi, dengan menghalalkan segala cara.
Untuk itu, Mahkamah Konstitusi sebagai gerbang akhir penjaga keadilan dan demokrasi diharapkan dapat menjalankan tugasnya sebaik-baiknya.
Mahkamah Konstitusi wajib menindak tegas segala bentuk kecurangan dan perbuatan melawan hukum dalam Pemilihan Kepala Daerah serentak 2024 ini. Termasuk membatalkan kemenangan dari hasil kecurangan TSM.***
Sempatkan untuk membaca berbagai berita dan informasi seputar ekonomi dan bisnis lainnya di media Infoekbis.com dan Harianinvestor.com
Jangan lewatkan juga menyimak berita dan informasi terkini mengenai politik, hukum, dan nasional melalui media 062.live dan Apakabarjateng.com
Sedangkan untuk publikasi press release serentak di puluhan media lainnya, klik Rilisbisnis.com (khusus media ekbis) dan Jasasiaranpers.com (media nasional)
Atau hubungi langsung WhatsApp Center Rilispers.com (Pusat Siaran Pers Indonesia /PSPI): 085315557788, 087815557788, 08111157788.
Klik Persrilis.com untuk menerbitkan press release di portal berita ini, atau pun secara serentak di puluhan, ratusan, bahkan 1.000+ jaringan media online.
Pastikan juga download aplikasi Hallo.id di di Playstore (Android) dan Appstore (iphone), untuk mendapatkan aneka artikel yang menarik. Media Hallo.id dapat diakses melalui Google News. Terima kasih.